A. Pengertian Bencana
Banyak
pengertian atau definisi tentang “bencana” yang pada umumnya merefleksikan
katarestik tentang gangguan terhadap pola hidup manusia,dampak bencana bagi
manusia,dampak terhadap struktur sosial,kerusakan pada aspek system pemerintahan bangunan dan
lain-lain serta kebutuhan masyarakat yang diakibatkan oleh bencana.
W. Nick Carter dalam bukunya yang berjudul “Disaster Mangement”memberikan defisiensi
bencana berdasarkan Coocise oxford
Dictionary sebagai “Sudden or great
misfortune,calamity” sedangkan berdasarkan Webster’s Dictionary,bencana
dimaknai dengan “a sudden calamitous
event producing great material damager,lan and distress”.
Definisi
yang lain dari bencana yang dimuat dalam buku Disaster Mangement tersebut
adalah :
“An event ,natural man-made,sudden or
progressive ,which impacts with severity that the affected community has to
respond by taking exceptional meansures ‘(halaman xxiii)
Defisiensi
lain menuurut international Strategy For Reduction (UN-ISDR-2004,24) adalah :
“A serious disruption
of the functioning of a community or a society causing widespread human
,maternal,economic or environmental lasses which exceed the ability of the
affected community/society to cope using its own resources”.
Atau :
‘.... Suatu kejadian
yang disebabkan oleh alam atau karena ulah
manusia,terjadi secara tiba-tiba atau perlahan –lahan.sehingga menyebabkan
hilangnya jiwa manusia,harta benda dan kerusakan lingkungan.kejadian ini
terjadi diluar kemampuan masyarakat dengan segala memberdayannya”.
Sedangkan
defisiensi menurut undang –undang Nomor
24 Tahun 2007 pasal 1 angka 1
“......Peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan,baik oleh faktor alam dan /atau non- alam naupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia.kerusakan
lingkungan ,kerugian harta benda,dan dampak psikologis”.
Peristiwa
atau rangkain peristiwa sebagaimana didefinisikan oleh Undang-undang tersebut
dapat dijelaskan bahwa peristiwa bisa bersifat tunggal (peristiwa/fenomena alam
) dalam waktu hampir bersamaan .Contoh peristiwa adalah gempa tektonik. Apabila
gempa tektonik tersebut diikuti
tsunami,hal ini disebut rangkaian peristiwa.Atau banjir misalnya ketika
banjir sudah surut/selesai dan kita
mulai membersihkan kotoran /sampah di dalam rumah atau dihalaman rumah yang
terkena banjir,tiba-tiba banjir datang lagi .ini juga dapat disebut rangkaian
peristiwa.
Berdasarkan
defisiensi bencana dari UN-ISDR sebagaimana disebutkan diatas,dapat
digeneralisasi bahwa untuk dapat disebut “bencana”harus dipenuhi beberapa
kriteria /kondisi sebagai berikut
1. Ada
peristiwa.
2. Terjadi
karena faktor alam atau karena ulah manusia.
3. Terjadi
secara tiba-tiba (Sudden) akan tetapi
dapat terjadi secara perlahan-lahan /bertahap (slow).
4. Menimbulkan
hilangnya jiwa manusia,harta benda ,kerugian sosial-ekonomi,kerusakan
lingkungan dan lain-lain.
5.
Berada diluar kemampuan
masyarakat untuk menanggulanginya.
Untuk
membedakan antara “bencana” dan “bukan bencana” dapat diberikan contoh “letusan
gunung api” yang terjadi di tengah laut. Apakah letusan gunung api tersebut
dapat disebut bencana?
Marilah
kita urai apakah memenuhi unsur-unsur atau kriteria sebagaimana dikemukakan di
atas. Pertama, letusan gunung api tersebut merupakan “peristiwa”. Kedua,
terjadinya letusan gunung api adalah karena faktor alam (fenomena alam).
Ketiga, letusan gunung api terjadi secara perlahan-lahan (ada proses
peristiwa). Keempat, letusan gunung apai terjadi di tengah laut (yang jauh dari
permukiman penduduk). Hal tersebut diyakini tidak menimbulkan korban jiwa
manusia atau kerusakan/kerugian harta benda. Kelima, tidak ada unsure “di luar
kemampuan manusia untuk menanggapinya” karena kejadian di tengah laut sedangkan
penduduk berada jauh dari lokasi kejadian.
Setelah
diurai, ternyata letusan gunung api tersebut tidak memenuhi unsur dampak korban
jiwa manusia maupun keruskan/kerugian. Juga tidak diperlukan kemampuan
masyarakat untuk menanggapinya”. Dengan demikian letusan gunung api di tengah
laut yang dimaksud adalah bukan bencana melainkan hanya fenomena alam biasa.
B. Kebijakan
Pelayanan Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Bencana
Dalam
beberapa tahun terakhir, kebijakan manajemen bencana mengalami beberapa
perubahan kecenderungan seperti dapat dilihat dalam tabel. Beberapa kecenderungan
yang perlu diperhatikan adalah:
·
Konteks politik yang semakin mendorong kebijakan
manajemen bencana menjadi tanggung jawab legal.
·
Penekanan yang semakin besar pada peningkatan
ketahanan masyarakat atau pengurangan kerentanan.
·
Solusi manajemen bencana ditekankan pada
pengorganisasian masyarakat dan proses pembangunan.
Dalam
penetapan sebuah kebijakan manajemen bencana, proses yang pada umumnya terjadi
terdiri dari beberapa tahap, yaitu penetapan agenda, pengambilan keputusan,
formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Di dalam
kasus Indonesia, Pemerintah Pusat saat ini berada pada tahap formulasi
kebijakan (proses penyusunan beberapa Peraturan Pemerintah sedang berlangsung)
dan implementasi kebijakan (BNPB telah dibentuk dan sedang mendorong proses
pembentukan BPBD di daerah). Sementara Pemerintah Daerah sedang berada pada
tahap penetapan agenda dan pengambilan keputusan. Beberapa daerah yang
mengalami bencana besar sudah melangkah lebih jauh pada tahap formulasi
kebijakan dan implementasi kebijakan.
Kebijakan
manajemen bencana yang ideal selain harus dikembangkan melalui proses yang
benar, juga perlu secara jelas menetapkan hal-hal sebagai berikut:
·
Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
·
Alokasi sumberdaya yang tepat antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, serta antara berbagai fungsi yang terkait.
·
Perubahan peraturan dan kelembagaan yang jelas dan
tegas.
·
Mekanisme kerja dan pengaturan antara berbagai
portofolio lembaga yang terkait dengan bencana.
Sistem kelembagaan
penanggulangan bencana yang dikembangkan di Indonesia dan menjadi salah satu
fokus studi bersifat kontekstual. Di daerah terdapat beberapa lembaga dan
mekanisme yang sebelumnya sudah ada dan berjalan. Kebijakan kelembagaan yang
didesain dari Pemerintah Pusat akan berinteraksi dengan lembaga dan mekanisme
yang ada serta secara khusus dengan orang-orang yang selama ini terlibat di
dalam kegiatan penanggulangan bencana.
Melalui UU
No. 24 tahun 2007, Pemerintah Indonesia telah memulai proses penyusunan kebijakan
menajemen bencana. Beberapa PP yang terkait telah dikeluarkan (PP No. 21, 22,
23 tahun 2008), sementara beberapa PP lain sedang dipersiapkan.
Pengorganisasian
Tim Siaga Kesehatan Reproduksi dalam Penanggulangan Bencana
a. Pengorganisasian
badan penanggulangan bencana di Indonesia
Pembentukan
struktur organisasi Badan Penanggulangan Bencana menurut UU No. 24 tahun 2007
dibagi dalam 3 tingkatan kewenangan sesuai dengan susunan kepemerintahan,
yaitu;
- Pada
Tingkat Nasional dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
- Pada
Tingkat Propinsi dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tingkat
propinsi.
- Pada
Tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
tingkat kabupaten/kota. Penanggulangan bencana di bidang kesehatan adalah
menjadi tanggung jawab dari Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Departemen
Kesehatan dibawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana di tingkat
pusat.
b. Pengorganisasian
Tim Siaga Kesehatan Reproduksi di bawah Koordinasi Pusat Penanggulangan Krisis,
Depkes pada Badan Penanggulangan Bencana
Berikut
ini adalah struktur organisasi penanggulangan bencana berdasarkan UU no. 24
tahun 2007. Keberadaan tim siaga kesehatan reproduksi di tingkat pusat
direkomendasikan berada dibawah struktur dan koordinasi Pusat Penanggulangan
Krisis Depkes di bawah struktur dari Badan Pelaksana Penanggulangan Bencana.
Kebijakan dan
penanganan krisis pada kondisi Gawat Darurat dan Bencana, meliputi :
-
Reevaluasi dalam
standarisasi model dan prosedur pelayanan Gawat Darurat & Bencana
diberbagai strata fasilitas kesehatan secara berjenjang serta reaktivasi
jejaring antar fasilitas kesehatan satu dengan yang lain.
-
Perkuat kemampuan dan
aksesibilitas pelayanan Gawat Darurat diseluruh fasilitas kesehatan dengan prioritas
awal di daerah rawan bencana dan daerah penyangganya.
-
Peningkatan pengetahuan
dan ketrampilan SDM di bidang Gawat Darurat dan manajemen Bencana secara
berjenjang.
-
Penanganan krisis
menitik beratkan pada upaya sebelum terjadinya bencana.
-
Optimalisasi pengorganisasian
penanganan krisis (gawat darurat dan bencana) baik di tingkat pusat, propinsi,
maupun kabupaten/kota dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah serta
memperkuat koordinasi dan kemitraan.
-
Pemantapan jaringan
lintas program dan lintas sektoral dalam penanganan krisis.
-
Membangun jejaring
sistem informasi yang terintegrasi dan online agar diperoleh data yang valid
dan real time serta mampu memberikan pelbagai informasi tentang situasi terkini
pada saat terjadi bencana.
-
Setiap korban akibat krisis
diupayakan semaksimal mungkin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan cepat,
tepat dan ditangani secara profesional.
-
Memberdayakan kemampuan
masyarakat (Community Empowerement) khususnya para stakeholder yang peduli
dengan masalah krisis di bidang kesehatan dengan melakukan sosialisasi terhadap
pengorganisasian, prosedur, sistem pelaporan serta dilibatkan secara aktif
dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi.
-
Pemantapan
regionalisasi penanganan krisis untuk mempercepat reaksi tanggap darurat.
C. Ruang
Lingkup Bencana
Dengan
melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka penanggulangan bencana
sektor kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis dan aspek kesehatan
masyarakat. Pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan merupakan salah satu bagian dari aspek kesehatan
masyarakat. Pelaksanaannya tentu harus melakukan koordinasi dan kolaborasi
dengan sektor program terkait. Menurut Fery Efendi (2009) Berikut ini merupakan
ruang lingkup bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkunga, terutama
pada saat tanggap darurat dan pasca-bencana.
· Sanitasi
darurat
Kegiatannya adalah
penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban; kualitas tempat pengungsian;
serta pengaturan limbah sesuai standar. Kekurangan jumlah maupun kualitas
sanitasi ini akan meningkatkan risiko penularan penyakit.
· Pengendalian
vektor
Bila tempat pengungsian
dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan terdapat nyamuk dan vektor lain
disekitar pengungsi. Ini termasuk adanya timbunan sampah dan genangan air yang
memungkinkan terjadinya perindukan vektor. Maka kegiatan pengendalian vektor terbatas
sangat diperlukan, baik dalam bentuk spraying atau fogging, larvasiding, maupun
manipulasi lingkungan.
· Pengendalian
penyakit
Bila dari laporan
pos-pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus penyakit, terutama yang
berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian melalui intensifikasi
penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor risikonya. Penyakit yang
memerlukan perhatian ada diare dan ISPA.
· Imunisasi
terbatas
Pengungsi pada umumnya
retan terhadap penyakit, terutama orang tua, ibu hamil, bayi dan balita. Bagi
bayi dan balita di imunisasi campak. Jenis imunisasi lain mungkin diperlukan
sesuai dengan kebutuhan setempat seperti dilakukan untuk mencegah kolera bagi
sukarelawan di Aceh pada tahun 2005 dan imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi sukarelawan
di DIY dan Jateng pada tahun 2006
· Surveilans
epidemologi
Kegiatan ini dilakukan
untuk memperoleh informasi epidemiologi penyakit potensi KLB dan faktor risiko.
Atas informasi inilah maka dapat ditentukan pengendalian penyakit, pengendalian
vektor, dan pemberian imunisasi. Informasi epidemiologis yang harus diperoleh
melalui kegiatan surveilans epidemiologi adalah:
-
Reaksi sosial;
-
Penyakit menular;
-
Perpindahan penduduk;
-
Pengaruh cuaca;
-
Makanan dan gizi;
-
Persediaan air dan
sanitasi;
-
Kesehatan jiwa;
-
Kerusakan infrastruktuk kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar